Beranda | Artikel
Aqidah Al-Wala wal Bara, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 2)
Kamis, 18 Oktober 2018

Baca pembahasan sebelumnya Aqidah Al-Wala’ wal Bara’, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 1)

Bentuk-bentuk loyalitas kepada orang kafir yang membatalkan iman

Loyalitas (wala’) kepada orang kafir dalam semua bentuknya termasuk perbuatan haram. Akan tetapi, sebagian bentuk loyalitas tersebut ada yang sampai ke level pembatal iman. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 9)

Syaikh ‘Abdurrahman An-Naashir As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

وذلك الظلم يكون بحسب التولي، فإن كان توليا تاما، صار ذلك كفرا مخرجا عن دائرة الإسلام، وتحت ذلك من المراتب ما هو غليظ، وما هو دون ذلك

“Kezaliman ini sesuai dengan (level) loyalitas (yang dikerjakan). Jika loyalitas yang bersifat totalitas, ini adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika level loyalitasnya kurang dari itu, maka ada yang parah dan ada yang lebih ringan dari itu.” (Taisiir Karimir Rahman, 1: 856)

Contoh-contoh wala’ kepada orang kafir yang membatalkan iman itu banyak sekali, di sini akan kami sebutkan bentuk-bentuk perbuatan yang paling penting dan paling banyak terjadi.

Pertama, tinggal menetap di negeri kafir disertai ridha dengan agama kekafiran

Tinggal menetap di negeri kafir dalam kondisi tidak terpaksa (karena suka-suka orang tersebut atau masih banyak pilihan alternatif lainnya untuk tinggal bersama di negeri kaum muslimin) disertai dengan: (1) ridha dengan agama kekafiran mereka; atau (2) memuji-muji (menyanjung) agama kekafiran mereka; atau (3) berusaha membuat senang orang kafir dengan mencela dan menyebutkan aib kaum muslimin; maka dalam kondisi tersebut, termasuk wala’ yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (kekasih) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)

Oleh karena itu, siapa saja yang memberikan loyalitas kepada orang kafir dan ridha dengan agama mereka, serta menjauh dari kaum muslimin dan mencela kaum muslimin, maka mereka itu adalah musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh seluruh kaum muslimin.

Kedua, mengubah kewarganegaraan dengan negara kafir yang memerangi kaum muslimin, karena senang dan ridha dengan negara kafir tersebut

Misalnya, seseorang mengubah kewarganegaraan menjadi warga negara Yahudi yang sampai hari ini negara Yahudi tersebut memerangi dan membantai kaum muslimin, lalu komitmen dengan semua aturan dan undang-undang negara tersebut, termasuk misalnya aturan wajib militer dan ikut memerangi kaum muslimin, dan semacamnya.

Maka mengubah kewarganegaraan dalam kondisi semacam ini adalah perbuatan haram, dan sebagian ulama menyebutkan bahwa perbuatan ini termasuk kafir akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam berdasarkan ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin.

Hal ini jika pengubahan tersebut atas dasar senang dan ridha. Adapun jika karena terpaksa, misalnya karena tidak adanya negeri Islam yang memungkinkan baginya untuk hijrah, atau tidak adanya negeri kafir lainnya yang kondisinya lebih baik dari negeri kafir tersebut, maka status orang tersebut seperti orang terpaksa. Sehingga tidak haram baginya, selama hatinya membencinya dan tidak ada rasa senang dan ridha.

Ketiga, tasyabbuh (menyerupai) orang kafir secara mutlak dan totalitas

Yaitu dengan menyerupai mereka dalam semua gerak-gerik mereka (totalitas), memakai jenis pakaian yang mereka pakai, meniru mereka dalam mode atau gaya rambut, tinggal bersama mereka, keluar masuk menyertai mereka di gereja, dan menghadiri perayaaan hari besar agama mereka. Barangsiapa yang melakukan semua itu (mengikuti mereka dalam semua ciri khas mereka, tidak ada yang tersisa), maka dia statusnya kafir sama dengan orang-orang kafir tersebut berdasarkan ijma’ para ulama.

Terdapat riwayat yang valid dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata,

ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻓِﻲ ﺑِﻼﺩِ ﺍﻷَﻋَﺎﺟِﻢِ، ﻭَﺻَﻨَﻊَ ﻧَﻴْﺮُﻭﺯَﻫُﻢْ ﻭَﻣِﻬْﺮَﺟَﺎﻧَﻬُﻢْ ﻭَﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻬِﻢْ، ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻤُﻮﺕَ، ﻭَﻫُﻮَ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺣُﺸِﺮَ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ

“Barangsiapa yang tinggal di negeri kafir, ikut membuat (meramaikan) hari raya Nairuz dan Mahrajan mereka, serta meniru-niru mereka hingga mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” (Sunan Al-Kubra, 9: 234)

Hari raya Nairuz adalah hari raya tahun baru orang-orang Majusi (bangsa Persia saat itu). Sedangkan hari raya Mahrajan adalah pesta musim semi orang-orang Persia jaman dahulu.

Keempat, menyerupai sebagian ciri khas mereka, namun dalam perkara yang menyebabkan keluar dari agama Islam

Misalnya, seorang muslim memakai salib dalam rangka mencari berkah (tabarruk), padahal dia mengetahui bahwa simbol salib adalah syi’ar agama Nashrani. Selain itu, pemakaian salib menunjukkan, menggambarkan atau mengisyaratkan keyakinan orang-orang Nashrani yang batil bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam itu dibunuh dan disalib. Keyakinan semacam ini berarti mendustakan firman Allah Ta’ala,

وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ

“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 157)

Adapun jika memakai kalung salib tanpa keyakinan di atas, misalnya hanya karena iseng atau merasa tambah keren jika memakai kalung salib, maka ini perbuatan yang diharamkan, namun tidak sampai derajat kafir akbar.

Contoh perbuatan lainnya adalah sengaja pergi ke gereja, ke candi, atau tempat-tempat ibadah orang kafir lainnya tanpa ada keperluan dan karena adanya keyakinan bahwa pergi ke sana akan lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Adapun jika pergi ke gereja karena adanya keperluan, misalnya tidak menemukan tempat lain untuk shalat, hal ini tidak mengapa. Sebagaimana sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya yang pernah mendirikan shalat di gereja.

Kelima, menyerukan bahwa semua agama itu sama benarnya

Bentuk loyalitas lainnya adalah menyerukan dan mendakwahkan bahwa semua agama itu sama atau menyerukan untuk mendekatkan berbagai macam agama yang ada. Sehingga siapa saja yang mengatakan bahwa agama selain agama Islam itu juga agama yang benar dan mungkin untuk “didekatkan”; atau bahkan Islam dan agama lainnya adalah agama yang satu, tidak ada perbedaan; atau sekedar ragu-ragu apakah agama selain Islam itu agama yang batil ataukah tidak, maka semua perbuatan ini termasuk dalam kafir akbar.

Karena semua keyakinan dan perbuatan semacam ini berarti mendustakan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 85)

Seruan untuk menyatukan semua agama adalah seruan kuno yang sudah lama digaungkan, bukan pemikiran kekinian seperti keyakinan orang-orang Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawannya. Pemikiran ini sudah dicetuskan oleh orang-orang sufi ekstrem jaman dahulu yang beraqidah wahdatul wujud, semacam Ibnu Sabi’in dan At-Tilmisani. Lalu dihidupkan kembali di era sekarang oleh sebagian orang yang mengaku muslim, seperti Jamaluddin Al-Afghani Al-Majusi dan muridnya, Muhammad Abduh Al-Mishri, dan juga Raja’ Jaarudi Al-Faransi dan lainnya.

Keenam, membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin

Terdapat beberapa bentuk membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin, misalnya ikut berperang bersama orang kafir; membantu orang kafir dengan menyediakan dana dan senjata; mencarikan berita untuk orang kafir (menjadi mata-mata); atau yang lainnya.

Bantuan semacam ini ada dua jenis, yaitu:

Pertama, dilandasi oleh motivasi cinta dan senang ketika orang kafir tersebut bisa menang melawan kaum muslimin. Inilah bentuk bantuan yang menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam.

Kedua, membantu orang kafir karena dilandasi motivasi duniawi, kepentingan pribadi, rasa takut, atau karena adanya permusuhan pribadi antara dirinya dengan kaum muslimin yang diperangi. Ini adalah bentuk bantuan yang haram, termasuk dosa besar, namun belum sampai derajat membatalkan iman.

Dalil bahwa perbuatan jenis kedua tidaklah membatalkan iman adalah kisah sahabat Haathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu ketika Fathu Makkah. Ketika itu, Haathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada kaum kafir Makkah untuk memberi tahu mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyerang kota Makkah sehingga kaum kafir Makkah dapat mempersiapkan diri. Motivasi Haathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah karena kepentingan pribadi, yaitu agar orang-orang kafir bisa menjaga anak dan saudaranya yang masih ada di Makkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memvonis sahabat Haathib sebagai orang murtad dan tidak pula menghukumnya.

[Bersambung]

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 18 Dzulqa’dah 1439/ 2 Agustus 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafizhahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.

🔍 Keutamaan Shalat Berjamaah Beserta Dalilnya, Doa Untuk Mempelai, Jumlah Rakaat Shalat Tahajud Rasulullah, Cara Memperlancar Persalinan Menurut Islam, Makna Surat Annas


Artikel asli: https://muslim.or.id/43166-aqidah-al-wala-wal-bara-aqidah-asing-yang-dianggap-usang-bag-2.html